Dibalik Senyuman Senja : Perayaan Rasa Kehilangan
Kehilangan, seperti ruang kosong yang tak bisa diisi oleh sepatah dua patah kata, tetapi hanya bisa dirasa dalam keheningan. Ia datang dengan cara yang lembut, seperti angin yang datang tanpa permisi, lalu pergi meninggalkan jejak luka. Kehilangan selalu datang bersama luka dan sakit, tetapi ialah yang memaksa kita untuk tumbuh dan beradaptasi.
Namun, apa yang terjadi ketika kita justru lebih memilih untuk menolak kenyataan yang telah terjadi dan terjebak dalam bayang bayang masalalu yang menyakitkan?
Langit yang semula cerah perlahan berubah. Warna lembut— Merah muda, jingga, ungu, dan kuning menyatu dalam harmoni warna yang indah. Matahari mengucapkan selamat tinggal kepada alam dan mendatangkan sebuah senja indah sebagai tanda perpisahan, meskipun alam tahu ia akan kembali lagi di hari esok.
Senja, masa inilah yang sangat disukai oleh mayoritas umat manusia. Termasuk dia, Evangeline Althea Caroline, gadis berusia delapan belas tahun yang hampir setiap hari menikmati matahari terbenam di balkon rumahnya.
Ia tinggal ujung desa, tepatnya di sebuah rumah tua, bersama Ayah, Ibu, Nenek, dan dua saudara. Bersama keluarga, dia selalu menghabiskan satu atau bahkan dua jam untuk menikmati indahnya langit jingga di sore hari. Seperti sudah menjadi tradisi, mereka melakukan hal itu hampir setiap hari.
Suatu hari, Evangeline bersama kakak dan adiknya sedang duduk di kursi tua di atas balkon dengan memegang sebuah kamera lusuh.
"Eva, hari ini senja nya cantik sekali, ya? Bersinar indah, persis seperti dirimu." Evangeline tersenyum tipis, Aileen- Kakaknya sangat gemar menggodanya.
"AYO POTRET SENJANYA KAK!" ucap Elena, si kecil bungsu yang bersemangat.
Evangeline mengangguk dan mulai memotret senja beberapa kali. Sesekali, Evangeline memotret gambar mereka bertiga dengan latar belakang matahari terbenam dan gaya yang lucu.
"Setidaknya kita memiliki gambar bersama. Aku, kalian, dan senja. Jika suatu saat kita sudah tidak bisa bersama lagi, kita masih memiliki gambar ini sebagai kenangan." Ucapan Aileen terkesan ambigu.
Menyadari kedua saudaranya menatapnya dengan tatapan bingung, Aileen tersenyum dan tertawa ringan untuk menghindari kecanggungan. "Ah bukan apa-apa."
Ketiga gadis bersaudara itu terlalu sibuk mengambil banyak gambar, hingga tak menyadari bahwa keluarganya datang mendekati mereka.
"Wah, Ibu kok tidak diajak sih, nak?" Ibu dan anggota keluarga lainnya mendekati mereka sembari tertawa kecil.
Ketiga gadis itu terkejut, lantas menghentikan kegiatannya. "Loh? Sejak kapan kalian berada disini?"
Nenek ketiga gadis itu tertawa. "Hahahaha, sudah lama kita berada disini. Kalian terlalu serius mengambil gambar, sampai tidak menyadari keberadaan kita."
Ketiga gadis itu tersenyum kikuk, mereka menaruh kamera dan bergabung bersama keluarga.
"Loh, kenapa berhenti? Ayo ambil gambar lagi, ayah mau ikut!" Ucap Ayah yang disetujui semua anggota keluarga.
Evangeline tersenyum dan mengangguk, lantas mengambil kembali kameranya dan mulai mengatur posisi. Ia beberapa kali menekan tombol di kamera, menghasilkan beberapa gambar indah dirinya bersama anggota keluarganya.
"Indah sekali, terimakasih telah memotret keluarga kita, Va. Kita abadi dalam gambar ini, meskipun beberapa waktu kedepan kita mungkin akan berpisah, tapi setidaknya kita masih memiliki ini untuk dikenang." Ucap Ayah menatap Evangeline sembari menunjuk gambar potretannya, dan lagi-lagi itu terdengar sangat ambigu.
Semua anggota keluarga menanggapinya dengan tertawa kecil, tak terkecuali Evangeline.
Hari demi hari berlalu, gadis yang menginjak bangku kelas tiga SMA itu mulai sibuk dengan berbagai macam Ujian dan persiapan kelulusan. Ia terlihat lebih sibuk dibanding hari hari sebelumnya yang cenderung lebih santai. Sejak saat itu, dia sangat jarang berada di rumah. Bahkan, dia melupakan tradisi keluarganya, yaitu duduk sejenak bersama senja.
Karena semua itu, dia menjadi kehilangan banyak waktu bersama keluarganya, dan dia lebih memilih merenung di dalam kamar dengan tumpukan kertas berisi berbagai materi dan rumus.
Hingga pada saat Evangeline melaksanakan Ujian Kelulusan, tiba-tiba segalanya berubah.
Sepulang sekolah, Evangeline sering mendapati Ayah dan Neneknya berwajah pucat dan berjalan linglung. Ia juga melihat ada banyak obat berserakan di meja dapur. Mulai dari situ, ia merasa curiga. Tapi, melihat gerak gerik Ayah dan Neneknya yang seakan tak terjadi apa-apa, ia memilih menghiraukan.
banyak hal aneh yang terjadi setelah itu, Hingga puncaknya terjadi saat Evangeline melaksanakan Ujian Kelulusan di hari terakhir. Semua keluarganya sepakat untuk mengantarkannya menuju sekolah, mereka pergi menuju sekolah Evangeline menggunakan mobil tua milik mendiang kakeknya.
Tak ada yang salah disini, sampai disaat keluarganya datang kembali kesekolah untuk menjemputnya. Mereka tampak pucat dengan pandangan yang kosong. Evangeline tak menyadari perubahan yang terjadi, memilih menghiraukan dan segera masuk ke dalam mobil, ia sudah sangat lelah.
Hari-hari berlalu, dan kejadian aneh semakin sering terjadi di kehidupan Evangeline. Keluarganya seringkali berjalan linglung tanpa arah yang jelas dengan tatapan kosong. Saat Evangeline mencoba berkomunikasi dengan mereka, yang ia dapatkan hanyalah senyum tipis dan jawaban singkat dari mulut mereka. Ada perasaan mengganjal di hati Evangeline, sebenarnya apa yang telah terjadi?
Tepat tujuh hari setelah kejadian aneh itu, kini, Evangeline tak mendapati satu pun anggota keluarganya dirumah. Ia mencari kesana kemari, menelusuri setiap sudut rumah, mencari di setiap ruangan, nihil. Evangeline tak dapat menemukan mereka, mereka seakan menghilang tak terlihat sehelai rambut pun.
Evangeline bingung, ia mengambil ponselnya dan menelpon Kerabat dekatnya.
"Halo, Tante?"
"Ada apa, Va?"
"Tante, Eva baru saja bangun tidur, tapi anehnya, Eva sendirian. Tidak ada siapapun di dirumah. Apakah mereka di rumah Tante?"
Hening, orang yang Evangeline ajak bicara terdiam beberapa saat.
"Hallo, Tante? Tante Rebe?"
"E-eh iya. Tante kesana sekarang."
Panggilan dimatikan. Evangeline semakin merasakan aneh yang luar biasa.
Sesampainya Tante Rebecca, Evangeline segera membuka pintu dan mempersilahkan duduk.
Rebecca memandang mata Evangeline cukup lama, lalu menghela napas. "Va, anggota keluargamu sudah tiada."
Evangeline tersentak kaget. "A-apa? Bagaimana mungkin? Tante bercanda, kan?" Ia tak percaya dengan apa yang terjadi.
Rebecca menghela napas panjang. Ia bercerita kepada Evangeline bahwa satu minggu lalu keluarganya mengalami kecelakaan parah selepas menghantar Evangeline ke sekolah akibat sang Ayah mengemudi dalam kondisi tidak sehat. Dan naasnya, tak ada yang selamat dalam peristiwa ini.
Isak tangis mulai terdengar di ruangan kecil itu. Evangeline tak mempercayai kenyataan yang menimpanya. Jadi selama ini, keluarganya sudah tiada? Lantas, siapa yang menjemputnya pada saat itu? Siapa yang berada di rumahnya selama tujuh hari belakangan ini?
Ia terisak, semua ini terlalu cepat, ia tak bisa mempercayainya.
Padahal, dua hari lagi Evangeline akan merayakan hari kelulusan. Ia sudah tak sabar memperlihatkan nilai dan prestasi yang ia peroleh selama ini kepada keluarganya, namun mereka sudah pergi meninggalkan Evangeline sendirian.
Evangeline menghabiskan hari dengan menangis hingga ia lelah dan terlelap.
"Hai kakak, selamat ya! Sebentar lagi Kamu menyelesaikan sekolahmu, aku yakin kamu pasti lulus mendapatkan nilai terbaik!"
"Maafin aku, Kak Aileen, dan keluarga yang lain ya, kak? Sudah meninggalkan kamu sendirian disana... Aku tahu kamu terkejut, aku tahu kamu sedih, tapi jangan berlarut-larut, ya? Kakak harus bangkit! Kehidupan kak Eva masih sangat panjang."
"Jika kakak rindu kami, kakak bisa melakukan tradisi yang selalu kita lakukan. Meskipun tak ada kami lagi, namun kakak tidak sendirian disana, ada kami yang menemani dari jauh."
Terkejut. Evangeline segera bangun dari tidurnya. Elena, Mendiang adiknya tiba-tiba datang ke dalam mimpinya. Ia termenung, mengingat-ingat apa yang Elena katakan.
Adiknya benar, ia harus bangkit. Perjalanan hidupnya masih panjang. Meskipun sendiri, tak ada alasan untuk menyerah. Ia harus bertahan, harus bisa menggapai impiannya, harus bisa menjadi yang terbaik di hidupnya.
Dengan penuh rintangan dan deraian air mata, Evangeline mencoba memperbaiki kehidupannya kembali setelah keterpurukan melandanya. Ia berusaha lebih keras untuk hidup dan masa depannya yang lebih baik.
Hingga akhirnya, Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi ilmuwan terkenal di masanya. Setelah sukses, ia mengunjungi makam keluarganya untuk menyampaikan keberhasilannya ini.
"Ayah, Ibu, Nenek, Kakek, Kak Aileen, Elena, aku datang. Aku berhasil, aku berhasil menjadi apa yang kalian mau. Terimakasih telah memberiku pelajaran yang berharga, tanpa kalian, mungkin aku tak akan bisa mencapai titik ini."
Komentar
Posting Komentar