Tuhan, Aku Ingin Pulang.

Tuhan, aku ingin pulang.

Seiring berjalannya waktu, hari semakin gelap. langit yang tadinya berwarna biru cerah, berubah menjadi semburat jingga yang dipadu dengan kuning yang indah, bulan mulai menampakkan dirinya untuk menggantikan sang mentari.

Dibawah senja, aku duduk sendirian diatas permukaan bebatuan, disapa debur ombak yang saling bersahutan, serta angin yang menerpa seluruh badan, dingin namun begitu tenang. aku menatap nanar lautan yang membentang luas itu, terlihat menakutkan namun justru itulah yang membuat jiwa nyaman. Perlahan, kutarik kain yang menutupi tangan kananku, memperlihatkan banyaknya luka lebam yang sudah membiru. Aku hanya bisa tersenyum pahit, sembari mengusap-usap pelan tangan yang penuh lukisan itu. "shh... Sakit, Ma."

Perkenalkan, aku Anindya Kaluna. nama yang sangat indah bukan? Anindya berarti cantik jelita, sedangkan Kaluna berarti kebaikan yang tiada duanya. Jadi, namaku memiliki makna, 'Gadis cantik jelita yang memiliki kebaikan tiada duanya'.

Aku berharap nasib hidupku akan seindah makna namaku, namun ternyata nihil. Hidupku sangat hancur, aku telah kehilangan arah. Sembari menatap kosong ke arah laut, otakku memutar peristiwa-peristiwa menyakitkan yang terjadi dalam hidupku.

2 hari yang laluu...

PLAKK!

"Anak sialan."

"A-akhh, t-tolongg hentikannn, ini sakitt, maa."

Seolah tidak puas, Aruna-Mama kandung Kaluna, kembali memukuli sang putri hingga terkulai lemas di lantai.

"Berani kamu melawan mama, hah?!"

Kaluna tak mampu menjawab, lidahnya kelu, tenggorokannya tercekat, untuk mengeluarkan sepatah kata pun ia tak mampu.

Ia hanya bisa menggeleng dan menunduk.

Merasa diabaikan, Aruna kembali tersulut emosi. Ia mengambil vas kaca tajam di atas meja, lalu ia melempar vas kaca itu hingga mendarat tepat di lengan kanan Kaluna.

"ARGHHHHH, SAKITTTTT."

Tepat saat itu, Kaluna dapat merasakan denyut nyeri yang sangat dahsyat, tetes demi tetes darah mengalir dari lengan kanannya, begitu menyakitkan.

'Tuhan, ini sangat sakit.'

Kaluna memandang vas kaca yang sudah hancur berkeping-keping. Dengan kondisi tangan yang bercucuran darah, ia berusaha mengumpulkan pecahan kaca itu agar tidak melukai siapapun yang mendekatinya. Namun,

KREKK!

"ARGHHHHH."

Kaluna meraung kesakitan ketika sang Mama dengan sengaja menginjak tangannya yang menggenggam sebongkah kaca. Dari telapak tangannya, terdapat darah yang mengucur deras seperti air terjun, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Kaluna.

"Benar-benar anak pembawa sial." Geram Aruna sembari menatap Kaluna sinis.

Tak dapat menahan air mata, Kaluna menangis saat itu juga. Dengan tertatih-tatih, Kaluna mencoba berdiri dan menghadap sang Mama.

"Ma? Luna salah apa sama mama? kenapa mama setega ini sama Luna?" Hatinya bergemuruh, matanya terasa panas, bulir-bulir air mata berjatuhan membasahi pipi cantiknya.

"Sialan? Kau masih bertanya apa salahmu?" Ucap Aruna seakan terkejut dengan pertanyaan Kaluna.

Aruna mendekati tubuh Kaluna dengan perlahan. Dan mencondongkan tubuhnya tepat di depan wajah Kaluna.

"Kau lahir saja sudah menjadi kesalahan terbesar bagi kami."

Deg!

Serasa dihantam bebatuan, hati Kaluna mencelos mendengarnya. Apakah dia seburuk itu dimata semua manusia di muka bumi ini?

"Maafin Luna, ma. Luna tidak tahu jika kehadiran Luna sangat mengganggu. Luna juga tidak meminta untuk dilahirkan di keluarga ini, Ma."

Aruna memutar bola matanya malas. "cih."

Ia maju selangkah dan mendorong Kaluna sekuat tenaga hingga sang putri terhuyung kebelakang.

"Sudahi dramamu itu, Kaluna. Tak akan ada yang membayarmu disini."

Setelah itu, Aruna melangkah pergi meninggalkan Kaluna yang menangis terisak-isak.

"Tuhan, apakah Luna kuat hidup di keluarga ini?"



Air mata menggenang di pelupuk mataku, lantas aku menunduk meratapi seluruh rasa sakit yang kuterima.

"Ma, aku se engga diharapkan itu ya?"

Sejak dulu, keluargaku memang tak pernah mengharapkan kehadiranku. Konon katanya, hadirku di dunia membawa malapetaka bagi kehidupan mereka.

Diantara tiga bersaudara, hanya akulah yang diasingkan. Kakak laki-lakiku, adik perempuanku, tak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Orangtuaku sangat menyayangi mereka. Sedangkan aku? Tujuh belas tahun aku hidup di dunia, tak pernah kurasakan kasih sayangnya, yang kudapat hanyalah hinaan dan siksaan yang menyayat hati.

Kembali kupejamkan mataku, dengan air mata yang tak berhenti menetes, aku tersenyum pahit, membiarkan otakku menjelajah ruang ingatan yang sangat luas.



"Kaluna, kemarilah."

Kaluna berjalan perlahan menyusuri lorong rumah sakit itu, menemui kedua orangtuanya.

"Ada apa, ma?"

"Kaluna, kami membutuhkan bantuanmu." Kini, papanya yang bersuara.

Mama dan papa Kaluna terlihat resah dan gelisah, membuat Kaluna terdiam kebingungan.

"Kalian membutuhkan bantuan? Apa yang sebenarnya terjadi, ma? pa?" Kaluna menggeleng heran, sembari menatap mama dan papanya secara bergantian.

Sang papa menghela napas berat. "Kakakmu..."

"Kakak? Ada apa dengan kakak, pa?" Kaluna mengernyit bingung.

"Kakakmu membutuhkan donor ginjal."

DEG!

'A-apa? donor ginjal?'

Kaluna hanya bisa mematung, dirinya masih belum bisa menerima kabar menyedihkan ini.

"Lun?"

Kaluna mengerjap. "I-ini beneran, pa? Papa engga bohong, kan?"

"Tidak ada gunanya bercanda gurau tentang penyakit, Kaluna."

Kaluna mematung, kakinya terasa lemas seperti tak ada tulang didalamnya. Tak kuat menyangga badannya, ia berpegangan kuat pada kursi dan menyandarkan dirinya di tembok rumah sakit yang dingin itu.

'Rasanya seperti mimpi."

"Pa, bukankah sebelumnya kakak baik-baik saja? mengapa tiba-tiba ia terkena penyakit yang sangat serius?" Tanya Kaluna penasaran.

"Satu minggu yang lalu, kakakmu mengeluh sakit dimana-mana. Badannya lemas, kepalanya pusing, perutnya mual, dan sesak napas. Karena terlalu khawatir, akhirnya kami membawa kakakmu ke rumah sakit. Dan ternyata, kakakmu menderita penyakit gagal ginjal, bahkan penyakit itu sudah cukup lama hinggap di tubuh kakakmu, hanya saja kami kurang menyadari."

Kaluna menyimak penjelasan sang papa dengan sangat serius, ia berharap ada keajaiban untuk kakak kesayangannya.

"Kamu tau kan, Kaluna? gagal ginjal itu sangat mustahil untuk disembuhkan."

Mendengar mamanya yang tiba-tiba bersuara, Kaluna pun menoleh kearahnya. Ia mengangguk menanggapi ucapan sang mama.

"Untung saja, kakakmu masih belum terlalu parah. Kata dokter, jalan satu-satunya agar kakakmu bisa sembuh total adalah dengan mendapatkan satu donor ginjal."

"Lantas, Kaluna harus apa, ma?" Tanya Kaluna bingung.

Mama dan papa Kaluna saling bertatapan mata, membuat Kaluna semakin bingung.

"Kaluna harus bagaimana, ma, pa? Apakah Kaluna harus mencari pendonor ginjal untuk kakak?" Timpal Kaluna.

"Begini, Kaluna. Kakakmu memerlukan donor ginjal secepatnya. Bahkan besok pagi, kakakmu sudah harus operasi untuk menyelamatkan nyawanya. Kami sudah berusaha mencarikan pendonor ginjal untuk kakakmu, tapi nihil, kami tidak menemukan satupun seseorang yang bersedia. Maka dari itu, kami tidak ada jalan lain, selain mengorbankanmu, Kaluna."

Kaluna mematung, seolah tak mengerti apa yang dikatakan sang papa kepadanya.

"H-hah? apa maksudnya, pa?"

"Donorkan satu ginjalmu, Kaluna."

Bagai disambar ribuan petir, hati Kaluna tersayat mendengarnya. Bulir bulir bening menggenang di kelopak matanya, dadanya sesak, bahkan kakinya terasa tak mampu untuk menopang tubuh kecilnya. Dia harus berkorban demi kakaknya?yang benar saja.

"M-mama bercanda, kan?" Jelas Kaluna, ia berharap ucapan sang mama hanya bualan belaka.

"Untuk apa mama bercanda, Kaluna? Kakakmu sangat membutuhkan pendonor ginjal, dan kamu satu-satunya yang bisa mama korbankan. Semua ini demi kakakmu, kamu harus mengerti."

Kaluna terisak, apakah sang mama tidak memikirkan keadaannya?

"Lantas, bagaimana kehidupan Kaluna, Ma? Kaluna masih ingin hidup." Tanya Kaluna.

Aruna, mama Kaluna merasa geram. "Sejak kapan kau menjadi anak pembangkang, Kaluna? Donorkan saja ginjalmu itu, kau tidak akan mati hanya karena memiliki satu ginjal." 

Semakin terisak, Kaluna seperti manusia tak bernyawa. Matanya yang sembab, tubuhnya yang rapuh, tatapannya yang kosong, benar-benar seperti mayat hidup.

Kaluna mengulas senyum pasrah, kemudian ia menatap sang mama yang sedaritadi menatapnya tajam.

"Baiklah, Kaluna bersedia mendonorkan satu ginjal untuk kakak."

Aruna tersenyum puas, ia menepuk pundak Kaluna kemudian tertawa kecil.

"Nah, begitu dong, kenapa harus membangkang dulu? buang-buang waktu saja."

Sakit, hati Kaluna sangat sakit. Tetapi, ia harus berkorban demi kakaknya, anak kesayangan sang mama.

"Tapi, diantara banyaknya manusia, mengapa harus Kaluna yang dikorbankan, Ma? Pa?" Tanya Kaluna Penasaran.

Aruna yang semula tersenyum sinis menjadi melirik Kaluna tajam, kemudian menghela napas malas. "Mengapa tidak? memangnya apa yang bisa diharapkan dari anak tidak berguna sepertimu? Tak ada gunanya hidupmu disini, jadi jika kau mati pun kami masih baik-baik saja."

Untuk kesekian kalinya, sang mama menoreh luka baru di hati Kaluna. Meski terbiasa, tetap saja Kaluna merasa sakit.

Sungguh, jika ada yang bertanya kepadanya 'apa yang lebih tajam dibanding pedang', maka Kaluna akan menjawab mulut sang mama.

"I-iya, ma."

Kaluna tidak bisa mengendalikan dirinya. Tangannya bergetar, kakinya tak mampu menopang tubuhnya, pandangannya mulai kabur, dan beberapa detik kemudian...

BRUK!

Kaluna terjatuh, dalam posisi tidak sadarkan diri.



Aku tersenyum miris, merasa kasihan dengan diriku sendiri. Mengapa hidupku se-menyedihkan ini?

Dadaku sesak sekali, bahkan untuk menghirup udara saja terasa tak mampu. Ingatan-ingatan kecil tentang hidupku mulai bermunculan, membuatku teringat lagi akan segala luka yang sedari dulu kupendam sendirian.

Kupandang laut yang membentang luas itu, dan entah mengapa aku merasa terpengaruh. Tanpa kusadari, aku mulai melangkah maju, menjelajahi lautan yang mulai dalam itu, dan memandang kosong kedepan, seperti tak ada kehidupan.

Dan disinilah aku, ditengah laut lepas. Dengan air laut yang setara dengan leherku, dan air mata yang terus mengalir.

Di bawah hari yang semakin gelap, aku terdiam memejamkan mata. Seolah mengerti dengan perasaan hatiku, langit seketika bergemuruh, tetes tetes hujan mulai jatuh menusuk kulitku disertai kilatan petir yang menyambar-nyambar.

"Tuhan, aku menyerah, aku tidak sanggup menjalankan hidup dari-Mu ini. Takdirmu sungguh berat, aku sudah tak kuat lagi." Gumamku berlinang air mata.

"Tuhan, Aku ingin pulang."

Detik itu juga, petir menggelegar dengan sangat dahsyat. Hujan turun lebat mengguyur tubuh ringkihku, luka yang sudah lama sembuh kini terbuka kembali dengan darah yang bercucuran.

Tak ada yang dapat kulakukan lagi, selain menangis dan memejamkan mata.

Semakin lama diriku berdiri disini, peristiwa aneh semakin kurasakan. Gelombang air yang semula normal, kini kurasa semakin tinggi. Tubuhku yang semula berdiam diri ditempat, kini perlahan terseret ke tengah lautan. Semakin lama, semakin tinggi, dan......

BYURR!

Gelombang air dengan tinggi kurang lebih lima belas meter mengguyur tubuhku, menghanyutkan ragaku, dan disitulah ku mulai terbawa arus.

Aku tak bisa bergerak sedikitpun, air laut ini seakan menyeretku menuju ke arahnya, menyekapku agar aku tak bersuara, mendekapku agar aku tak berontak.

Di sisa-sisa nyawaku, aku termenung, memori ingatanku kembali berputar. Kenangan buruk tentang diriku mulai bermunculan dari aku kecil hingga saat ini.

"Tak ada yang mengharapkan kehadiranmu."

"Dasar anak pembawa malapetaka."

"Untuk apa kau hidup, menyusahkan saja."

"kamu anak sialan, mati saja."

Aku tersenyum pasrah. Mungkin, memang ini akhir hidupku.

"Tuhan, jika hidupku memang ditakdirkan berakhir hari ini, Aku ikhlas. Bawa jiwa ragaku ini, Tuhan."

Perlahan, tubuhku mulai tenggelam ke dasar laut, bagaikan ditelan sang samudera. Kepalaku terasa berat, organ tubuhku sudah tak berfungsi lagi, pandanganku kabur. Dan pada akhirnya, detik yang kutunggu-tunggu, aku telah menghembuskan napas terakhirku, dan jiwaku telah berpisah dengan ragaku.

Kisah Anindya Kaluna, selesai. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Recount Text

Dibalik Senyuman Senja : Perayaan Rasa Kehilangan

Iklima's Daily Life